TEMPO Interaktif, Jakarta - Komisi Nasional Perlindungan Anak (PA) menuding kurikulum pendidikan yang statis dan kejar target menjadi penyebab suburnya tawuran peserta didik sekolah. Kurikulum dinilai tidak menyenangkan dan membuat jenuh. "Siswa melampiaskan kejenuhan ke hal negatif seperti tawuran," kata Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, Rabu, 21 September 2011.
Arist mengatakan kurikulum pendidikan harus menyenangkan dan memiliki pilihan. Tidak cuma belajar matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. "Harus ada kurikulum pilihan yang menyenangkan bagi siswa," ujarnya.
Bagi Arist, dunia anak itu dunia bermain. Amat kental dengan nilai spontanitas dan semangat. Jika unsur-unsur tadi tidak terpenuhi jangan harap kecerdasan anak tumbuh optimal. "Termasuk kecerdasan emosi," tuturnya.
Dalam pandangannya budaya kekerasan siswa tumbuh dari perilaku orang tuanya sendiri. Banyak kekerasan yang dilihat anak dari perilaku orang tuanya, baik di rumah maupun di jalanan. "Lihat saja umpatan seorang ayah di depan anaknya sendiri kepada sopir angkutan. Itu kasar sekali," kata Arist memberi contoh.
Di sisi lain, tambah dia, dominasi televisi yang menayangkan kekerasan ormas dan elite politik juga turut menanamkan budaya itu ke siswa. "Itulah kenapa siswa gampang terprovokasi."
Menurut Arist, wartawan dan pihak SMA Negeri 6 jangan cuma sebatas saling menuntut. Harus ada restorasi kasus yang membuahkan jalan keluar bagi keduanya. "Kerja wartawan dilindungi. Tapi anak-anak juga harus dilindungi," katanya.
Dua hari lalu terjadi tawuran antara para wartawan dan siswa SMA 6. Tawuran itu merupakan buntut dari insiden pengeroyokan terhadap Oktaviardi, juru kamera Trans 7, yang terjadi Jumat, 16 September 2011. Oktaviardi mengaku dipukuli puluhan siswa SMA 6 usai merekam aksi tawuran SMA 6 dan SMA 70.
HERU TRIYONO
Arist mengatakan kurikulum pendidikan harus menyenangkan dan memiliki pilihan. Tidak cuma belajar matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. "Harus ada kurikulum pilihan yang menyenangkan bagi siswa," ujarnya.
Bagi Arist, dunia anak itu dunia bermain. Amat kental dengan nilai spontanitas dan semangat. Jika unsur-unsur tadi tidak terpenuhi jangan harap kecerdasan anak tumbuh optimal. "Termasuk kecerdasan emosi," tuturnya.
Dalam pandangannya budaya kekerasan siswa tumbuh dari perilaku orang tuanya sendiri. Banyak kekerasan yang dilihat anak dari perilaku orang tuanya, baik di rumah maupun di jalanan. "Lihat saja umpatan seorang ayah di depan anaknya sendiri kepada sopir angkutan. Itu kasar sekali," kata Arist memberi contoh.
Di sisi lain, tambah dia, dominasi televisi yang menayangkan kekerasan ormas dan elite politik juga turut menanamkan budaya itu ke siswa. "Itulah kenapa siswa gampang terprovokasi."
Menurut Arist, wartawan dan pihak SMA Negeri 6 jangan cuma sebatas saling menuntut. Harus ada restorasi kasus yang membuahkan jalan keluar bagi keduanya. "Kerja wartawan dilindungi. Tapi anak-anak juga harus dilindungi," katanya.
Dua hari lalu terjadi tawuran antara para wartawan dan siswa SMA 6. Tawuran itu merupakan buntut dari insiden pengeroyokan terhadap Oktaviardi, juru kamera Trans 7, yang terjadi Jumat, 16 September 2011. Oktaviardi mengaku dipukuli puluhan siswa SMA 6 usai merekam aksi tawuran SMA 6 dan SMA 70.
HERU TRIYONO
sumber : tempointeraktif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar